Namanya: Westerling "Sang Penjagal" (part 2)

Berkilau agaknya prestasi militer Westerling. Tapi entah mengapa ia meninggalkan satuannya, pasukan elit Inggris, dan masuk menjadi anggota KNIL. Ia lalu terpilih masuk dalam pasukan gabungan Belanda-Inggris di Kolombo. Pada September 1945, bersama beberapa pasukan, Westerling diterjunkan ke Medan, Sumatera Utara.


Tujuannya, menyerbu kamp konsentrasi Jepang Siringo-ringo di Deli, dan membebaskan pasukan pro-Belanda yang ditawan. Ia berhasil.

Sebulan kemudian tentara Inggris mendarat di Sumatera Utara, dan entah bagaimana Westerling bergabung dengan pasukan ini. Tugasnya, melakukan kontraspionase, demikian kata buku Westerling, De Eenling. Itu makanya di Medan ia mengkoordinir orang-orang Cina, membentuk pasukan teror Poh An Tui (PAT). Pertengahan tahun 1946, ia dikirim ke Jakarta.

Di KNIL, karier militer Westerling menanjak cepat. Mulanya, ia hanya seorang instruktur. Tak lama, pada usia 27 tahun, Letnan Satu Westerling diangkat sebagai Komandan Depot Speciale Troepen (DST), Pasukan Para Khusus Belanda. Pasukan inilah yang ditugaskan ke Makassar, untuk membantu Kolonel De Vries mempertahankan kekuasaan Belanda. Pada 5 Desember 1946, ia tiba di Makassar. Belum seminggu di tempat baru, ia sudah membuat teror yang menggemparkan. Kampung dikepung, dihujani mortir. Rumah-rumah dibakar habis. Penduduk dikumpulkan, dibantai. Dan para anggota pergerakan kemerdekaan disiksa, sebelum dihabisi dengan biji-biji peluru.

Empat bulan teror, perlawanan penduduk mereda. Anehnya, rakyat mengelu-elukan Westerling, mungkin karena takut. Ketika beranjak dari Makassar, kembali ke Jawa, konon, seseorang memberikan kenang-kenangan sebilah badik.

Westerling ternyata memang berbakat menjadi jagal manusia. Di Bandung ia ikut kemelut politik Indonesia, untuk menyalurkan bakatnya membunuh. Lewat APRA (Angkatan Perang Ratu Adil), ia memancing pertumpahan darah.

Tapi di Bandung pula ia memasuki hidup berumah tangga, menikah dengan wanita setempat, yang bernama Ivonne Fournier. Semua itu, APRA dan perkawinannya, dilakukannya sebagai orang biasa, setelah jabatannya sebagai Komandan DST dicopot oleh Panglima KNIL Jenderal Simon Spoor, di Batujajar, 21 November 1948.

Gagal dengan APRA, Westerling tak juga patah. Ia dan anak buahnya, menurut buku Westerling yang ditulis Supardi, sering mengadakan pertemuan di Nite Club Black Cat di Jalan Segara (sekarang Jalan Veteran 1), Jakarta. Mereka menggunakan pabrik besi Nyo Peng Liong sebagai tempat merakit senjata. Sedangkan dana ia peroleh dari sejumlah perkebunan di Jawa Barat, bantuan seorang yang bernama Jungschlager (orang ini diduga anggota Nefis, Dinas Intelijen Militer Belanda), juga pampasan perang dari Jepang.

Kamis, 23 Februari 1950, pukul 10 pagi Letnan Sanjoto mendapat informasi bahwa Westerling berada di Pelabuhan II Tanjung Priok. Sanjoto menugasi Letnan Kusuma dan Letnan Supardi, penulis buku itu, menangkap Westerling. Pukul 19.00 mereka mengendarai jip Willys, mendatangi Westerling. Rencananya, mereka akan mengajak ngobrol sebentar, lalu Supardi menembak Westerling, dan Kusuma meledakkan granat.

Aksi tak berjalan sesuai skenario. Sebelum rencana terlaksana, Westerling malah menghampiri mereka, mengajak minum bir. Mereka tak kuasa menolak. Tapi tugas tetap dilaksanakan: kedua letnan itu mengatakan kepada Westerling bahwa ia diharap datang ke markas Tanjung Priok sebentar.

Mereka berangkat dengan kendaraan masing-masing. Di tengah perjalanan Westerling dan anak buahnya memberondong mobil Kusuma dan Supardi hingga terbalik dan penumpangnya luka. Mayor Brentel Susilo dan Letnan J.C. Princen, yang menguntit jejak Westerling, ganti mengejarnya.

Tapi terlambat, hari itu juga Westerling terbang ke Singapura dengan pesawat Catalina yang diduga telah dipersiapkan sebelumnya.


Di Singapura Westerling sempat ditangkap Inggris. Tapi kemudian ia bisa berangkat ke Belanda, Agustus, tahun itu juga. Nasibnya di luar medan perang bisa dibilang buruk. Ia mencoba bergerak di bidang percetakan, gagal. Pernah juga ia mencoba menjadi penyanyi opera, belajar menyanyi di Jerman, gagal lagi.

“Saya jual buku saja,” katanya suatu ketika. Dan akhirnya memang ia hidup sebagai pedagang buku bekas. Westerling nyaris terjun ke kancah perang lagi. Ia sempat membikin dua memorandum yang isinya mendorong agar Eropa (termasuk Belanda) berperang menghadapi Vietkong. Tak ada yang menanggapi. Menjelang perebutan Da Nang, Juli 1965, seseorang menghubunginya, menawarinya melatih pasukan Vietkong. Kabarnya, Westerling hampir berangkat bila tidak dicegah pemerintah Belanda.

Westerling memang khas tentara bayaran. Ia tampaknya tak pernah berpikir untuk siapa dan untuk apa dia menembak. Hingga saat-saat terakhirnya, sejauh diketahui, Westerling belum pernah mengaku bersalah atas terornya di Indonesia. Yang dilakukannya, katanya, adalah melindungi rakyat.


Si jagoan Kaptein de Turk (julukannya karena ia berdarah Turki) akhirnya ‘ditaklukkan’ bukan di medan perang, tapi di medan ilmu. Sejarawan De Jong melalui bukunya membuka kembali masa lalu De Turk, dan membuat penyakit jantungnya kambuh.

sumber

Comments