Selamat Dirgahayu Jakarta yang ke 485! Dan, seperti biasanya, telah kita lihat banyak kembang api, tanjidor, tari topeng, dan ondel-ondel. Tahu apa itu ondel-ondel? Itu adalah ini:
Katakan "Halo", sayang
Ondel-ondel adalah pertunjukan rakyat yang sudah
berabad-abad terdapat di Jakarta dan sekitarnya, yang dewasa ini menjadi
wilayah Betawi. Walaupun pertunjukan rakyat semacam itu terdapat pula di
beberapa tempat lain seperti di Priangan dikenal dengan sebutan Badawang, di
Cirebon disebut Barongan Buncis dan di Bali disebut Barong Landung, tetapi
ondel-ondel memiliki karakteristik yang khas.
Ondel-ondel tergolong salah satu
bentuk teater tanpa tutur, karena pada mulanya dijadikan personifikasi leluhur
atau nenek moyang, pelindung keselamatan kampung dan seisinya. Dengan demikian
dapat dianggap sebagai pembawa lakon atau cerita, sebagaimana halnya dengan
“bekakak” dalam upacara “potong bekakak” digunung gamping disebelah selatan
kota Yogyakarta, yang diselenggarakan pada bulan sapar setiap tahun.
Ondel-ondel berbentuk boneka besar dengan rangka anyaman
bambu dengan ukuran kurang lebih 2,5M, tingginya dan garis tengahnya kurang
dari 80 cm. Dibuat demikian rupa agar pemikulnya yang berada didalamnya dapat
bergerak agak leluasa. Rambutnya dibuat dari ijuk,”duk” kata orang Betawi.
Mukanya berbentuk topeng atau kedok, dengan mata bundar (bulat) melotot.
Hey, I just met you, and this is crazy, but her'es my number, so call me maybe~
Ondel-ondel yang menggambarkan laki-laki mukanya bercat
merah, yang menggambarkan perempuan bermuka putih atau kuning. Ondel-ondel
biasanya digunakan untuk memeriahkan arak-arakan, seperti mengarak pengantin
sunat dan sebagainya. Lazimnya dibawa sepasang saja, laki dan perempuan. Tetapi
dewasa ini tergantung dari permintaan yang empunya hajat. Bahkan dalam
perayaan-perayaan umum seperti ulang tahun hari jadi kota Jakarta, biasa pula
dibawa beberapa pasang, sehingga merupakan arak-arakan tersendiri yang cukup
meriah.
Musik pengiring ondel-ondel tidak tertentu, tergantung
masing-masing rombongan. Ada yang diiringi Tanjidor, seperti rombongan
ondel-ondel pimpinan Gejen, kampung Setu. Ada yang diiringi gendang pencak
Betawi seperti rombongan “Beringin Sakti” pimpinan Duloh (alm), sekarang
pimpinan Yasin, dari Rawasari. Adapula yang diiringi Bende, “Kemes”, Ningnong
dan Rebana Ketimpring, seperti rombongan ondel-ondel pimpinan Lamoh, kalideres.
Disamping untuk memeriahkan arak-arakan pada masa yang lalu
biasa pula mengadakan pertunjukan keliling, “Ngamen”. Terutama pada
perayaan-perayaan Tahun Baru, baik masehi maupun Imlek. Sasaran pada perayaan
Tahun Baru Masehi daerah Menteng, yang banyak dihuni orang-orang
Kristen.Pendukung utama kesenian ondel-ondel petani yang termasuk “abangan”,
khususnya yang terdapat di daerah pinggiran kota Jakarta dan sekitarnya.
Pembuatan ondel-ondel dilakukan secara tertib, baik waktu
membentuk kedoknya demikian pula pada waktu menganyam badannya dengan bahan
bambu. Sebelum pekerjaan dimulai, biasanya disediakan sesajen yang antara lain
berisi bubur merah putih, rujak-rujakan tujuh rupa, bunga-bungaan tujuh macam
dan sebagainya, disamping sudah pasti di bakari kemenyan. Demikian pula
ondel-ondel yang sudah jadi, biasa pula disediakan sesajen dan dibakari
kemenyan, disertai mantera-mantera ditujukan kepada roh halus yang dianggap
menunggui ondel-ondel tersebut. Sebelum dikeluarkan dari tempat penyimpanan,
bila akan berangkat main, senantias diadakan sesajen. Pembakaran kemenyan
dilakukan oleh pimpinan rombongan, atau salah seorang yang dituakan. Menurut
istilah setempat upacara demikian disebut “Ukup” atau “ngukup”
Ollo anak-anak, mau bermain?
Ondel-ondel konon telah ada sebelum Islam tersebar di Jawa.
Dulu fungsinya sebagai penolak bala atau semacam azimat. Saat itu, ondel-ondel
dijadikan personifikasi leluhur penjaga kampung. Tujuannya untuk mengusir
roh-roh halus yang bergentayangan mengganggu manusia. Oleh karena itu tidak
heran kalau wujud ondel-ondel dahulu, menyeramkan. Gambar foto dari sejarawan
Rushdy Hoesein yang dilansir dari milist
Historia Indonesia membuktikan hal itu.
Seiring perjalanan waktu, fungsinya bergeser. Rushdy
mengemukakan bahwa pada masa Ali Sadikin menjadi Gubernur DKI Jakarta
(1966-1977), ondel-ondel menjelma menjadi seni pertunjukan rakyat yang
menghibur. Biasanya disajikan dalam acara hajatan rakyat Betawi, penyambutan
tamu kehormatan, dan penyemarak pesta rakyat. Di beberapa daerah di Nusantara,
terdapat juga pertunjukan kesenian yang mirip ondel-ondel, seperti di Bali
jenis kesenian yang mirip ondel-ondel ini disebut dengan barong landung dan di
Jawa Tengah yang dikenal masyarakat sana dengan sebutan barongan buncis.
Karena pada awalnya berfungsi sebagai personifikasi leluhur
sebagai pelindung, maka bisa dikatakan bahwa ondel-ondel termasuk ke dalam
salah satu bentuk teater tanpa tutur. “Ning-nang-ning-nung…” ondel-ondel
beraksi diiringi musik yang khas. Musik pengiringnya sendiri tidak tentu.
Bergantung rombongan masing-masing. Ada yang menggunakan tanjidor, yaitu
kesenian orkes khas Betawi. Ada yang diiringi dengan pencak Betawi. Dan ada
juga yang menggunakan bende, ningnong, dan rebana ketimpring.
Ondel-ondel sudah sangat identik dengan etnis Betawi.
Mudah-mudahan ondel-ondel tetap lestari di tengah modernisasi kota megapolitan:
Jakarta.
sumber:
Comments
Post a Comment