Tanggal 14 Februari... hmmm...saya merasakan tanggal ini patut diperingati! Mengapa? Saya yakin kalian semua sudah tahu. Ya, 14 Februari, tentu saja. Mungkin ada yang belum tahu.. banyak yang belum tahu, kalau tanggal 14 Februari adalah tanggal.....PEMBERONTAKAN PETA DI BLITAR!!
Saya serius. Ini ungkapan hati saya. Saya gelisah melihat bahwa rakyat Indonesia melupakan sejarahnya sendiri. Mereka lebih suka memperingati peringatan lain dibanding peringatan pemberontakan PETA di Blitar.
Saya serius. Ini ungkapan hati saya. Saya gelisah melihat bahwa rakyat Indonesia melupakan sejarahnya sendiri. Mereka lebih suka memperingati peringatan lain dibanding peringatan pemberontakan PETA di Blitar.
Pemberontakan PETA
Blitar memang pecah pada 14 Februari 1945. Namun sejatinya, pemberontakan dilakukan
lebih awal, yakni 5 Februari 1945 saat dilakukan latihan bersama
(Daidan) batalyon PETA Jawa Timur di Tuban. Namun, rencana ini gagal,
karena Jepang mendadak membatalkan jalannya latihan. Perwira PETA yang
terlanjur datang ke Tuban dipulangkan masing-masing ke kotanya. Rencana
pemberontakan PETA sendiri sesungguhnya datang dari akumulasi
kekecewaan para kadet PETA terhadap Jepang. Di lapangan, mereka kerap
menjumpai tindak sewenang-wenang tentara Jepang kepada pribumi,
sementara dalam latihan ketentaraan, Jepang selain keras juga melakukan
diskriminasi, seperti keharusan menghormat tentara Jepang meski
pangkatnya lebih rendah.
Adalah Supriyadi
yang menjadi motor rencana pemberontakan. Sebetulnya ia hanya seorang
Shudanco (komandan peleton). Atasannya masih ada Cudanco (komandan
kompi) Ciptoharjono dan Daidanco (komandan batalyon) Soerahmad. Namun,
tak bisa dipungkiri, inisiatif dan otak pemberontakan ada di tangan
Supriyadi. Ia menggandeng beberapa rekan Shudanco yang sepaham. Syahdan
pada 9 Februari 1945, Supriyadi menemui guru spiritualnya, Mbah Kasan
Bendo. Ia mengutarakan maksud untuk melawan Jepang. Konon, saat itu
Kasan Bendo memintanya untuk bersabar dan menunda gerakan hingga 4
bulan. “Tapi kalau ananda mau juga melawan tentara Jepang sekarang,
saya hanya dapat memberikan restu kepadamu, karena perjuanganmu itu
adalah mulia.”
Pesan
itu disampaikan Supriyadi kepada rekan-rekannya. Setelah sempat menemui
pimpinan PUTERA, Soekarno dan gagal mendapat restu, Supriyadi
mengadakan rapat terakhirnya 13 Februari 1945 di kamar Shudanco Halir
Mangundjidjaja. Hadir Shudanco Moeradi, Chudanco Ismangil, Bundanco
Soenanto dan Bundanco Soeparjono. Hasilnya, pemberontakan akan
dilakukan besok. Mereka masing-masing tahu risikonya bila gagal, paling
ringan disiksa dan paling berat hukuman mati. Rencana ini terkesan
tergesa-gesa karena Supriyadi dan rekan-rekannya khawatir tindak tanduk
mereka telah dimonitor Jepang. Shudanco Halir menceritakan di Blitar
baru saja datang satu gerbong anggota Kempetai yang baru datang dari
Semarang. Mereka menginap di Hotel Sakura. Supriyadi cs menduga,
kedatangan Kempetai untuk menangkap dirinya dan rekan-rekannya.
14
Februari 1945, pukul 03.00, senjata dan peluru dibagi-bagikan ke
anggota PETA. Jumlah yang ikut serta 360 orang. Setengah jam kemudian,
Bundanco Soedarmo menembakkan mortir ke Hotel Sakura. Hotel direbut dan
tentara PETA menurunkan slogan “Indonesia Akan Merdeka” (janji proganda
Jepang) dan menggantinya dengan spanduk “Indonesia Sudah Merdeka.”
Merah putih juga dikibarkan. Pasukan PETA melucuti senjata para polisi
dan membebaskan tawanan dari penjara. Beberapa orang Jepang yang
ditemui dibunuh. Mereka lalu bergerak menyebar ke tempat yang sudah
ditentukan sebelumnya. Namun entah kenapa, rencana penyebaran malah
gagal. Seluruh pasukan PETA seusai serangan justru berkumpul di Hutan
Ngancar, perbatasan Kediri.
Sejak
awal, Jepang berhati-hati dalam menangani pemberontakan PETA. Mereka
tidak terlalu ofensif dan cenderung menggunakan jalan persuasif untuk
menjinakkan Supriyadi dan rekan-rekannya. Hal ini dilakukan demi
menghindari tersulutnya kemarahan Daidan (Batalyon) PETA yang lain yang
bisa saja malahan membuat pemberontakan meluas dan merembet ke
mana-kemana. Setelah kota Blitar berhasil diduduki kembali, langkah
diplomasi pun dibuat. Kolonel Katagiri yang ditunjuk untuk memimpin
operasi penumpasan mendatangi pasukan Supriyadi yang bertahan di Hutan
Ngancar, perbatasan Kediri. Di Sumberlumbu, Katagiri bertemu dengan
Muradi, salah satu pemimpin pemberontak. Pasukan PETA menawarkan
penyerahan diri bersyarat. Adapun syaratnya adalah:
1. Mempercepat kemerdekaan Indonesia,
2. Para tentara PETA yang terlibat pemberontakan takkan dilucuti senjatanya,
3. Aksi tentara PETA yang dilakukan pada 14 Februari 1945 di Kota Blitar takkan dimintai pertanggungjawaban.
2. Para tentara PETA yang terlibat pemberontakan takkan dilucuti senjatanya,
3. Aksi tentara PETA yang dilakukan pada 14 Februari 1945 di Kota Blitar takkan dimintai pertanggungjawaban.
Katagiri
menyetujui syarat tersebut. Sebagai tanda sepakat, ia menyerahkan
pedang perwiranya kepada Muradi untuk disimpan. Muradi beserta seluruh
pasukannya kembali ke Blitar. Nah, pada saat kembali dari Ngancar
inilah, Supriyadi terakhir kali terlihat. Persisnya ia hilang di dukuh
Panceran, Ngancar. Ada dugaan bisa diculik secara diam-diam dan dibunuh
Jepang di Gunung Kelud, namun berkembang juga isu bahwa ia sengaja
melarikan diri. Mungkin ia memang sudah tak yakin Jepang akan memenuhi
syarat yang diajukan PETA.
Jika
itu yang ia rasakan, Supriyadi benar. Kesepakatan Sumberlumbu ternyata
tak diakui oleh pimpinan tentara Jepang di Jakarta. Mereka meminta
Kempetai tetap memproses para pelaku diproses. Dari hasil pilah memilah
dan negosiasi, diberangkatkanlah 78 tentara PETA ke Jakarta untuk
menghadapi pengadilan militer Jepang. Hasil dari sidang militer,
sebanyak 6 orang dijatuhi hukuman mati, 6 orang diganjar hukuman seumur
hidup dan sisanya dihukum antara beberapa bulan sampai beberapa tahun.
Tak lama kemudian, Shudanco Moeradi, Chudanco Ismangil, Shudanco Halir
Mangkoedjidjaja, Bundanco Soenanto dan Bundanco Soeparjono dipenggal
kepalanya di Eereveld, Ancol.
Bagaimana
dengan Supriyadi? Sejak ia menghilang, ia tak pernah menunjukkan batang
hidungnya kembali. Supriyadi sendiri pernah berpesan kepada ibunya
beberapa hari sebelum pecahnya pemberontakan, apabila ia tidak kembali
ke rumah dalam waktu 5 tahun, itu tandanya dirinya sudah meninggal
dunia. Apa benar Supriyadi telah gugur? Yang jelas, fakta bahwa
jasadnya tak pernah diketemukan berbanding dengan penunjukannya sebagai
panglima tentara Indonesia yang pertama menjadi bahan menarik sebagai
komoditi misteri hingga kini. Komoditi yang juga sama dengan kasus
raibnya Tan Malaka sebelum dipecahkan oleh sejarawan Belanda, Dr Harry
Poeze.
Comments
Post a Comment