Ular
naga panjangnya, bukan kepalang. Menjalar-jalar selalu kian kemari. Umpan yang
lezat itulah yang dicari. Ini dianya yang terbelakang.
Menurut perasaanku,
sudah sangat lama aku tidak mendengar lagi lagu itu, terlebih bermain ‘Ular
Naga’. Bagi yang sudah pernah bermain (yang belum, kasiaan deh), mungkin masih
ingat. Cara bermainnya cukup mudah kok, permainan ini bisa dimainkan jika orang
yang ingin bermain lebih dari tiga. Malas sungguh menjelaskan cara bermainnya.
Semua pasti tahu cara bermainnya, jika ada yang belum tahu, silakan bertanya
kepada orangtuanya. Kalau orangtuanya tidak tahu? Keterlaluan.
Oke, fine. Cukup sudah tentang
cara bermainnya. Tetapi, aku kurang sreg
saat menyanyikan lagu itu, terlebih jika sambil bermain. Mungkin kalian
bingung, apa hal yang membuat aku kurang sreg.
Salah satunya adalah baris terakhir yang berbunyi, “Ini dialah yang terbelakang.” Setelah baris tersebut didendangkan,
dua orang yang menjadi ‘pagar’ (bener ga sih?) akan menangkap orang yang
menjadi bagian tubuh ular (agak ragu, cara mainnya kayak gitu kan? Kalo ada
yang salah tolong dikoreksi.).
Nah, lagi-lagi ini membuatku tak enak hati. Jika
baris terakhir kita jadikan makna konotasi, mungkinkah itu berarti bahwa lagu
‘Ular Naga’ telah mendeskripsikan keadaan kita saat ini? Keadaan dimana orang
yang ‘terbelakang’ selalu ‘ditangkap’? Mungkinkah peristiwa dimana ‘mereka’
‘menangkap’ mereka yang ‘terbelakang’ karena diberikan ‘umpan yang lezat’?
Dan, kalau tidak salah,
dalam Injil, setan digambarkan sebagai ‘ular’. Setan sendiri terkadang
dikaitkan dengan kesengsaraan dan kejahatan. Kalau begitu, Mungkinkah sang
‘ular’ yang ‘panjangnya bukan kepalang’ kini sudah ‘menjalar kesana kemari’?
Membuat para ‘terhormat’ kini menangkapi ‘dianya yang terbelakang’?
Aku teringat kata-kata
dalam buku ‘Negara Kelima’ karya E.S Ito yang bertuliskan, ‘Raganya Indonesia, tetapi jiwanya tak lagi
Nusantara, yang lain berkuasa, sisanya hanya pengaya…’
Wallahualam. Mohon
jangan disalahartikan.
Comments
Post a Comment