Selamat "Ulang Tahun"!


Memperingati “Ulang Tahun” sekarang ini sudah menjadi sesuatu yang dianggap sebagai tradisi. Kegiatan itu mungkin untuk memperingati “Ulang Tahun” seseorang, namun tidak tertutup kemungkinan sasarannya adalah lembaga, peristiwa, dan bahkan negara. Dua seorang teman saya misalnya, kemarin dan hari ini baru saja memperingati usianya yang ke-15 (dalam hitungan tahun). Artinya, perayaan itu dilakukan dalam rangka memperingati “ulang tahun” yang ke-15.

Peringatan “ulang tahun” itu kadang-kadang juga dilakukan untuk memperingati, Bukannya kelahiran, malahan sebaliknya, kematian seseorang atau sesuatu. Peringatan Wafatnya Isa al-Masih, misalnya, adalah contoh yang paling terkenal. Memang lebih umum orang memperingati peristiwa kelahiran: Waisak, Natal, Maulid, Hari Proklamasi Kemerdekaan, Hari Koperrasi Sedunia, misalnya, diadakan untuk memperingati kelahiran.

Di Indonesia ada juga yang unik: Hari Pendidikan Nasional tidak dikaitkan dengan kelahiran sesuatu yang bersifat mendidik, melainkan dengan kelahiran R. Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara yang kemudian dinobatkan sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Seolah-olah saat lahir tokoh itu merupakan saat atau peristiwa penting untuk dunia pendidikan kita. Seolah-olah saat lahir Ki Hajar Dewantara merupakan tonggak yang paling menentukan arah pendidikan di Indonesia.

Mengapa untuk memperingati pendidikan itu kita tidak mengambil saat pertama kali di Indonesia dibuka lembaga pendidikan, apakah itu sekolah, pesantren, atau mandala? Atau, mengapa tidak mengambil saat pertama kali ada orang Indonesia mencapai suatu derajat tertentu di bidang pendidikan? Kalaupun meu menghormati Ki Hajar Dewantara, mengapa tidak mengambil, misalnya saja, titimangsa karyanya yang pertama kali berbicara mengenai pendidikan? Atau pada saat pertama kali Suwardi Suryaningrat secara sadar mengganti namanya menjadi Ki Hajar Dewantara?

Apa, di mana, dan bagaimana pun peringatan itu dilakukan, kita menyebutnya sebagai peringatan “ulang tahun”. Justru patut direnungkan apakah istilah “ulang tahun itu” tepat. 

Mari kita lihat.

Satu minggu terdiri atas tujuh hari, dari Ahad sampai Sabtu. Kemudiannya putarannya kembali. Itu berarti bahwa setelah setiap tujuh hari atau satu minggu, akan terjadi ulang minggu. Jumlah tanggal dalam satu bulan berkisar antara 28 (Februari) dan 31 itu berarti dengan berakhirnya satu bulan tertentu, akan terjadi ulang tanggal. Satu tahun terdiri atas 12 bulan, apakah namanya dari Januari sampai Desember, dari Muharam sampai Zulhijjah, ataukah nama lain menurut tarikh masing-masing. Ini berarti jika setelah keduabelas bulan itu “berputar” sebenarnya yang terjadi adalah ulang bulan.

Namun ternyata, kita menyebutnya dengan istilah ulang tahun. Padahal jelas bahwa bulan bukan tahun. Lebih jelas lagi, karena ternyata tahun tidak pernah berulang. Sejak ada penghitungan tarikh Masehi saja, misalnya, angka tahun terus bertambah. Tidak sekali pun berulang. Tahun 2012 ini sama sekali bukan perulangan dari tahu-tahun sebelumnya, melainkan lanjutannya. Dengan demikian, sebenarnya tidak ada yang patut kita sebut sebagai ulang tahun.

Kalau kita bandingkan dengan kebiasaan masyarakat berbahasa Inggris, misalnya, akan ternyata bahwa mereka tidak pernah memperingati “ulang tahun”. Setiap tahun mereka memang memperingati suatu peristiwa, yang mereka sebut birthday. Bahasa Indonesianya, tentu saja, hari lahir. Peringatan tahunannya itu sendiri mereka sebut anniversary.

Setiap tahun umat Nasrani memperingati Hari Natal, yang artinya ‘lahir’. Peringatan tahunan universitas pun disebut dies natalis yang artinya “hari lahir. Dalam pada itu, setiap tahun umat Islam memperingati Maulud Nabi, yang artinya “kelahiran” atau “kebangkitan”. Itu sebabnya, mengapa tahun Hijriah kadang-kadang disebut tarikh Miladiyah.

Namun, mengapa kita tetap saja memperingati atau merayakan “ulang tahun”, Bukannya hari lahir, hari jadi, atau hari bangkit?

Jadi?

Selamat “Ulang Tahun”!

(catatan: tulisan ini bersumber dari tulisan Pak Ayatrohaedi, seorang Guru Besar Linguistik FSUI yang pernah dimuat di majalah “Kata” tahun 2000. Tulisan di atas juga hasil editan pengelola blog of phoenix)

Comments