Saat ini, sedang ada sebuah peristiwa menarik yang cukup
marak. Apa itu? Apa lagi kalau bukan naiknya harga BBM. Tetapi tentu saja saya
tidak akan membahas BBM kali ini, melainkan mengenai seekor serangga imut
bernama Tomcat. Mengapa saya tertarik untuk membahasnya? Karena saya tertarik
untuk membahasnya. Dan entah kenapa ada suatu ketertarikan yang membuat saya
ingin menulisnya. Tetapi alasan saya untuk menulisnya hanya karena saya
tertarik. Dan rasa ketertarikan inilah yang mentoring saya untuk membahasnya.
Selain karena tertarik untuk membahas, saya juga sangat tertarik untuk menulis
dan mengulas tentang si Tomtom ini karena… (Suara di MUTE)
Nah, mengapa saya tertarik? Karena…(PLEASE! JANGAN BAHAS ITU
LAGI!!) Ehem, begini, karena saya melihat sebuah event di masyarakat yang saya
anggap merupakan sebuah histeria massa. Mungkin lebih tepat jika disebut efek
psikologi massa. Efek di mana seseorang terpengaruh oleh keadaan orang lain
yang membuat seseorang tersebut ikut merasakannya jika itu terjadi.
Contohnya (yang saya dapatkan di sebuah novel), jika ada dua
puluh orang yang ditanyai apakah mereka setuju jika rambut seluruh siswa SMP
Indonesia wajib cepak, maka dua puluh orang tersebut akan bingung. Tetapi jika
ada lima orang saja yang meneriakkan kata setuju, maka lima belas sisanya
biasanya akan mengikut kepada lima orang itu. Singkatnya, seperti yang terjadi
pada sistem “Quick-count” saat Pemilu.
Begitu pula yang terjadi pada kasus Tomcat. Percayalah jika
saya katakan bahwa Tomcat itu tidak berbahaya.
Kulit Anda mungkin akan gatal, tetapi tidak melepuh.
Mengapa saya dapat mengatakan hal tersebut?
Karena Guru Besar Entomologi (Ilmu Serangga) IPB, Soemartono
Sosromarsono kepada itoday pernah mengatakan, "Tidak bisa diterima logika, jika dikatakan racun Tomcat
sepuluh kali lebih keras dari ular kobra. Racun kobra masuk ke dalam darah
sementara racun Tomcat hanya ada di kulit, itupun jika tergosok. Jika kena
kulit hanya kemerahan saja, sama sekali tidak melepuh seperti diberitakan
media,"
Menurut Soemartono,
racun Tomcat tidak akan menempel di kulit manusia jika tubuh Tomcat tidak rusak
atau pecah. "Racun Tomcat akan keluar jika tubuh Tomcat dipencet atau
terpencet. Saat terpencet, tubuh Tomcat pecah sehingga racun keluar. Saya
sering pegang, buktinya tidak ada apa-apa," ungkap Soemartono.
Oke, gatal-gatal itu mungkin buruk. Tetapi, karena sudah
tertanam sugesti bahwa itu adalah racun berbahaya (yang juga dilebihkan oleh
Stasiun-stasiun Televisi), maka orang akan takut melihat Tomcat. Mereka pun
langsung memukulnya dengan cara memukulnya yang akhirnya menyebabkan getah
Tomcat mengenai kulit mereka dan menyebabkan gatal-gatal.
Setelah terkena gatal, orang tadi pasti akan menuduh bahwa
Tomcat-lah yang me”racuni”nya. Saat sedang gatal-gatal itulah, ia akan
bertindak berlebihan karena dicekoki pemikiran yang sudah berlebih.
Tomcat sejatinya merupakan sahabat petani karena dia itu makanin hama. Tetapi mungkin, karena terjadi ketidakseimbangan rantai makanan atau mungkin karena sawah-sawah sudah pada hilang, Si Tomtom ini jadi pindah ke rumah-rumah warga. Tapi dia ga bahaya kok. Kalo mau nyapa silakan aja, asal jangan lirik-lirikan, entar lama-lama PDKT dan ....(TOPIC STOPPED)
Tomcat sejatinya merupakan sahabat petani karena dia itu makanin hama. Tetapi mungkin, karena terjadi ketidakseimbangan rantai makanan atau mungkin karena sawah-sawah sudah pada hilang, Si Tomtom ini jadi pindah ke rumah-rumah warga. Tapi dia ga bahaya kok. Kalo mau nyapa silakan aja, asal jangan lirik-lirikan, entar lama-lama PDKT dan ....(TOPIC STOPPED)
Begitulah pemikiran saya mengenai kasus Tomcat ini. Tolong
jangan blokir blog ini jika saya salah. Mungkin saja Tomcat yang sekarang sudah
berevolusi dan memang benar-benar beracun? Itu memang mungkin. Tetapi,
percayalah, bahwa tulisan panjang lebar saya di atas tadi juga mungkin.
Jadi kesimpulan dari peristiwa ini adalah:
1.
Jangan cepat terpengaruh sugesti yang kiranya
merugikan.
2.
Jangan cepat percaya pada TV, apalagi iklannya.
Comments
Post a Comment